Jakarta - Kondisi Sri Lanka tengah terpuruk. Negara ini telah dinyatakan bangkrut karena tak bisa memenuhi kewajibannya membayar utang.
Aksi protes pun muncul sebagai buntut dari krisis Sri Lanka. Hal itu pun membuat Presiden Gotabaya Rajapaksa bakal mengundurkan diri dari jabatannya pada 13 Juli mendatang.
Utang juga jadi persoalan yang dihadapi Indonesia. Posisi utang pemerintah Indonesia per Mei 2022 mencapai Rp 7.002 triliun atau 38,88% dari produk domestik bruto (PDB). Namun, sejumlah pengamat menilai, Indonesia masih 'jauh' dari yang dihadapi Sri Lanka.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, Indonesia belum mengarah pada situasi seperti Sri Lanka. Sebab, dari sisi cadangan devisa masih baik sejalan dengan baiknya perdagangan internasional.
"Saya kira kalau misalnya situasi sekarang belum terlalu. Karena ekspornya masih jalan, kecuali defisit kita udah agak lumayan besar, nah itu bahaya. Sekarang kan masih surplus, devisanya bertahan," katanya kepada detikcom, Senin (11/6/2022).
"Tapi kalau nanti defisit, dan defisit dalam setahun nggak bisa balik ataupun terlalu tinggi, maka itu yang berbahaya. Devisa bisa habis karena pintu ekspor impor, pariwisata, itu baru takutnya gagal bayar di situ," tambahnya.
Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan, dengan rasio utang pemerintah hampir 40% kemungkinan bisa bertambah jika tidak ada peningkatan penerimaan negara.
"Kalau misalkan tidak ada peningkatan di penerimaan negara, utang bayar utang, semakin lama bisa tembus di atas level psikologis," katanya.
Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan, utang pemerintah masih aman. Dia menilai, Indonesia merupakan negara yang terkenal disiplin menjaga utangnya.
"Utang kita dengan rasio sekarang ini sekitar 40% terhadap PDB itu dalam kondisi yang aman. Kondisi yang sangat berhati-hati. Dan Indonesia sangat terkenal, sangat disiplin menjaga kondisi utangnya," ujarnya.
Apalagi, kata dia, Indonesia terus menjaga level defisit anggarannya di angka 3%.
"Setiap tahun defisit APBN kita itu dijaga tidak pernah lewat dari 3%. Waktu 2020, 2021, tahun 2022 defisit kita dicatat 3%, itu pun dijaga tidak jauh dari 3%. Sangat berbeda dengan negara-negara lain ketika pandemi mengalami lonjakan defisit yang sangat besar di atas 10%," katanya.
Sejumlah pelajaran pun bisa dipetik Indonesia dari krisis ekonomi di Sri Lanka. Tauhid Ahmad menjelaskan, akar masalah Sri Lanka ialah karena negara tersebut sangat mengandalkan ekonomi dalam negeri.
"Kalau ekonomi domestik itu pemenuhan kebutuhan katakan dalam negeri diproduksi sendiri, tanpa mengembangkan diversifikasi ekspornya. Jadi harusnya balance," katanya.
Dia mengatakan, Sri Lanka sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai sumber pemasukan. Ketika pandemi melanda, ekonomi Sri Lanka terpukul.
"Jadi ketika pada saat pandemi 2020-2021 anjlok, devisa nggak masuk, uang nggak masuk, sehingga devisanya abis," jelasnya.
Masalah selanjutnya ialah utang yang besar. Di sisi lain, penerimaan sulit digenjot apalagi di tengah pandemi. "Ada sumber bayar utang, dari pajak, pajak sangat sulit di tengah pandemi, orang susah di sana, kemiskinan tinggi," ujarnya.
Sementara, Piter menjelaskan, ekonomi Sri Lanka tidak didukung kekayaan alam dan sumber daya manusia (SDM) yang kuat. Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki perencanaan ekonomi yang matang.
"Sri Lanka miskin, dan karena miskin tidak memiliki sumber daya alam. Mereka miskin juga sumber daya manusia dengan pemerintahan yang tidak cukup kuat juga di dalam perencanaan perekonomian mereka," terangnya.
Sri Lanka, lanjutnya, tidak bisa mengelola ekonomi karena menerapkan kebijakan defisit yang besar. Sebab, pengeluarannya lebih tinggi daripada pada pemasukan. Hal itu berdampak pada kemampuan membayar utangnya, serta hilangnya kepercayaan dari pemberi utang.
"Sri Lanka tidak bisa mengelola itu, mereka terus melakukan defisit besar tapi pada waktunya mereka kehilangan kepercayaan sehingga tak bisa utang lagi, mereka gagal bayar utang, mereka bangkrut," ujarnya.
"Mereka membangun tapi tidak ada perencanaan yang bagus. Bangun pelabuhan tapi nggak jelas untuk apa pelabuhannya," tambahnya.
0 komentar:
Posting Komentar